the best arabic songs

Wednesday 18 May 2011

Tahapan Penciptaan Manusia dan Garis Takdirnya

”Sesungguhnya setiap orang di antara kalian, penciptaannya dikumpulkan dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa sperma (nuthfah), kemudian menjadi segumpal darah (’alaqah) selama 40 hari juga, kemudian menjadi segumpal daging (mudhghah) selama 40 hari juga. Lalu diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya. Dia diperintahkan menuliskan empat kata:
Rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.
Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, salah seorang di antara kalian mengerjakan amalan ahli surga, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. Ternyata ia didahului oleh ketetapan Allah untuk tidak masuk surga. Kemudian dia melakukan perbuatan ahli neraka, sehingga ia pun masuk neraka.
Ada pula salah seorang di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka, sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. Ternyata dia didahului oleh ketetapan Allah untuk tidak masuk neraka. Kemudian dia melakukan perbuatan ahli surga sehingga dia pun masuk surga.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Ibnu Mas’ud ra mengatakan bahwa ketika nuthfah bersemayam di dalam rahim, seorang malaikat menggenggamnya dengan kepalannya. Dia berkata, ”Ya Tuhanku, sempurnakan atau tidak darah ini?” Ketika Allah mengatakan jangan sempurnakan, maka dia biarkan nuthfah itu di dalam rahim menjadi darah yang tidak bernyawa.
Ketika Dia mengatakan sempurnakan, maka malaikat itu berkata, ”Ya Tuhanku, apakah jadikan laki-laki atau perempuan, celaka atau bahagia, berapa rezekinya, berapa ajalnya, di mana akan matinya?” Maka dikatakan kepadanya, ”Pergilah ke umm al-kitab (lauh mahfuzh). Di sana kamu akan menemukan jawaban semua itu.”
Berangkatlah malaikat itu menuju lauh mahfuzh. Dia temukan jawaban semua pertanyaannya di sana, lalu dia menyalinnya. Nuthfah itu akan terus bersama malaikat tersebut hingga malaikat itu merampungkan tugasnya. Oleh karena itu dikatakan, ”Kebahagiaan (ditetapkan) sebelum kelahiran.” []
- Dikutip dari : Syarah Sufistik 40 Hadis Imam Nawawi. Muhammad Abdurrazak Mahili
oleh
Tessa Sitorini

Tingkatan Orang Yang di Timpa Musibah

April 21, 2011

Manusia terbagi menjadi 5 tingkatan dalam menghadapi musibah.
Tingkatan Pertama : Marah-Marah/ Menolak
Ini terbagi kepada beberapa macam:
[1] Terjadi di dalam hati, misalnya jengkel terhadap Rabb-nya karena taqdir buruk menimpanya. Ini haram hukumnya, terkadang bisa menjerumuskan kepada kekufuran. Allah Ta’ala berfirman. :
“Artinya : Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keaadaan itu, dan jika ditimpa suatu bencana berbaliklah ia ke belakang. Ia rugi dunia dan akhirrat” [Al-Hajj : 11]
[2] Dengan lidah, misalnya meminta celaka dan binasa dan yang semisal itu. Ini juga haram.
[3] Dengan anggota tubuh seperti menampar pipi, merobek saku, menjambak
rambut dan semisalnya. Semua ini haram karena bertentangan dengan sabar yang merupakan kewajiban.
Tingkatan Kedua : Berterima
Dengan kesadaran segala sesuatu musibah yang terjadi adalah dengan idzin Allah azza wajalla, di dalam Al Qur’an di jelaskan dalam surah [64. At Taghaabun ayat 11]:
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tingkatan Ketiga : Bersabar
Seperti diucapkan oleh seorang penyair ; sabar seperti namanya, pahit
rasanya tetapi lebih manis akibatnya dari pada madu. Maka orang ini akan melihat bahwa suatu musibah itu berat, namun ia tetap menjaga imannya sehingga tidak marah-marah, meski ia berpandangan bahwa adanya musibah itu dan ketiadaannya tidaklah sama. Ini hukumnya wajib karena Allah Ta’ala memerintahkan untuk bersabar.
Dia berfirman :
“Artinya : Bersabarlah kalian, sesunguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar” [ Al-Anfa : 46]
Tingkatan Keempat : Ridha
Yakni manusia ridha dengan musibah yang menimpanya. Ia berpandangan bahwa ada dan tidaknya musibah sama saja baginya, sehingga adanya musibah tadi tidak memberatkannya. ia pun tidak merasa berat memikulnya. Ini dianjurkan dan tidak wajib menurut pendapat yang kuat. Perbedaan tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya nampak jelas karena adanya musibah dan tidak adanya sama saja dalam tingkatan ridha. Adapun pada tingkatan sebelumnya, jika ada musibah dia merasakan berat, namun ia tetap bersabar.
Tingkatan Kelima : Bersyukur
Ini merupakan tingkatan yang paling tinggi. Di sini seseorang bersyukur atas musibah yang menimpanya karena ia memahami bahwa musibah ini menjadi sebab pengampunan kesalahan-kesalahannya bahkan mungkin malah menambah kebaikannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tidaklah satu musibah menimpa seorang muslim kecuali dengannya Allah mengampuni dosa-dosanya sampai sebuah duripun yang menusuknya”
[Disalin kitab Al-Qadha’ wal Qadar edisi Indonesia Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin’, terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Abu Idris]

“Qodho dan Qodar”

April 14, 2011

Kembali Ke Allah | -

*) Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin al-’Ash ra., dia berkata, “Allaah telah menentukan takdir bagi semua makhluk 50.000 tahun sebelum Allaah menciptakan langit dan bumi.” Kata Rosulullaah Saw., “Sedangkan Arsy Allaah ketika itu di atas benda cair.”
*) Diriwayatkan dari Abul Aswad Ad-Dadu’ali, dia berkata: Imran bin Hushain ra. bertanya kepadaku, “Apakah perilaku dan jerih payah kaum Muslimin sekarang ini karena takdir yang telah ditentukan sejak dulu atas mereka ataukah karena mereka mengetahui ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka, lalu mereka mengakui kebenarannya?” Aku menjawab, ‘Itu karena takdir yang telah ditentukan sejak dulu atas mereka.’ Tanya Abul Aswad lagi, “Bukankah yang demikian itu suatu kezhaliman?” Imran berkata, ‘Aku sangat terkejut dengan pertanyaan itu, kemudian aku katakan, ‘Segalanya adalah ciptaan-Nya. Allaah tidak ditanya mengenai apa yang DIa perbuat, tetapi merekalah yang ditanya’.”
Lalu Abul Aswad berkata kepadaku, “Semoga Allaah memberimu rahmat. Sungguh aku tidak bermaksud menanyaimu kecuali hanya untuk menjaga pikiranmu. Pernah ada dua orang laki-laki dari suku Muzainah datang kepada Rosulullaah Saw. lalu keduanya bertanya, ‘Ya Rosulullaah, menurut Anda, apakah perilaku dan jerih payah kaum Muslimin sekarang ini karena sudah suratan takdir yang telah ditetapkan sejak dahulu ataukah karena mereka mengetahui ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka, lalu mereka mengakui kebenaran ajaran itu?’
Rosulullaah Saw. menjawab, “Itu adalah karena sudah suratan takdir yang telah ditetapkan sejak dahulu, sesuai dengan firman Allaah Azza wa Jalla (yang artinya)aa: ‘Dan demi jiwa serta penyempurnaannya/penciptaannya, maka Allaah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kkefasikan dan ketaqwaan.” [QS. Asy-Syams: 7 - 8]’.”
*) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., dia berkata, Ummu Habibah pernah berdo’a, “Ya Allaah, panjangkanlah usiaku bersama suamiku, Rosulullaah Saw., juga bersama ayahku, Abu Sufyan serta saudaraku Mu’awiyah.”
Kemudian Rosulullaah Saw. bersabda kepada Ummu Habibah, “Sesungguhnya kamu memohon kepada Allaah Azza wa Jalla, ajal, kematian dan rizki yag telah ditentukan, yang Allaah tidak akan mengajukan atau mengundurkannya sedikitpun. Kalau kamu memohon kepada Allaah Azza wa Jalla agar Dia menyelamatkanmu dari siksa neraka dan siksa kubur, maka itu lebih baik bagimu.”
Kata Abdullah bin Mas’ud ra., Ada seorang laki-laki bertanya, ‘Apakah kera dan babi itu berasal dari manusia yang berubah rupa?’ Nabi Muhammad Saw. menjawab, “Sesungguhnya Allaah Azza wa Jalla tidaklah mencelakai (atau: menyiksa) suatu kaum, kemudian Allaah menjadikan keturunan bagi mereka dan sesungguhnya kera serta babi sudah ada sebelumnya.”
*) Diriwayatkan dari Abu Huroiroh ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Manusia tealh ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil dia akan menjalaninya. Dua mata zinanya adalah melihat; lisan zinanya berbicara; tangan zinanya adalah menyentuh; kaki zinanya adalah melangkah, dan; hati zinanya berkeinginan. Sedangkan semua itu akan ditindaklanjuti atau ditolak oleh kemaluan.” [juga diriwayatkan oleh al-Bukhori]
Prihastri Septianingsih

Apakah Makna Taubat ?

December 30, 2010

Sahabat sekalian, jika jauh di dalam kalbu anda sudah ada ada kebutuhan untuk mencari Allah, ingin tenteram, ingin mengetahui agama lebih baik, atau gelisah mencari kesejatian, maka ketahuilah bahwa anda masih dipilih Allah untuk bertaubat. Taubat sesungguhnya merupakan panggilan Allah.Manusia sama sekali tidak bisa membuat dirinya sendiri ingin bertaubat. Allah sendirilah yang menumbuhkan keinginan bertaubat di dalam kalbu anda.Sebagaimana firman-Nya:
“Kemudian Tuhan memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS 20:122)
“Barangsiapa mengehendaki (kebaikan bagi dirinya niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak akan mempu menempuh jalan itu kecuali bila dikehendaki Allah.”(QS. 76:29-30)
“…Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat mengendaki(menenempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. 81: 28-29)
Keinginan Taubat, Keinginan taubat itu timbul karena dipilih-Nya. Maka dari itu, jika sekarang dalam hati anda mulai tumbuh kegelisahan makna hidup, atau keinginan kembali kepada-Nya, mulai timbul keinginan akan ketentraman bersama-Nya, mulai ingin mencari jalan-jalan yang mendekatkan diri kita kepada-Nya, Itu adalah panggilanNya. Maka sambutlah panggilan-Nya itu. Jika kemudian mulai tumbuh perilaku kita yang ‘mencari jejak-Nya’, seperti mencari-cari pengajian yang baik, mencari-cari bahan di internet, mulai mencari-cari buku tentang Tuhan dan agama, maka syukurilah. Ini berarti bahwa Dia masih mengingat anda. Dia masih memanggil anda untuk mendekat, untuk pulang kepada-Nya. Dia masih menghendaki anda kembali kepada-Nya. Allah sendirilah yang menumbuhkan keinginan ini dalam hati anda.
Oleh karena itu, janganlah kita sia-siakan kesempatan ini. Jangan abaikan panggilan-Nya ini. Jangan sampai dia merasa panggilan-Nya kita abaikan. Karena sebagaimana kita pun, jika orang yang kita harapkan terus mengabaikan kita, lama-kelamaan kita pun akan melupakan orang itu. Camkanlah, bahwa tidak setiap orang akan dipanggil-Nya.Tidak setiap orang terpilih untuk ditaubatkan-Nya. Sangat sedikit orang yang ditumbuhkan keinginan untuk mulai mencari Allah didalam hatinya.
Perhatikanlah, bahwa amat banyak orang mencari pengajian dengan niat mencari kawan, mencari kelompok, mencari pengakuan orang lain sebagai ‘orang pengajian’, mencari ketentraman sesaat, meniti karir di partai politik, mencari hapalan dan pengetahuan ayat, mencari bahan diskusi, dan sebagainya. Sangat sedikit, sekali lagi sangat sedikit, orang yang benar-benar mencari pemahaman akan hakikat hidup maupun kesejatian (Al-Haqq).
Jika kita tidak mau bertaubat, tidak mengindahkan panggilan-Nya itu, maka kita termasuk orang yang zalim. Definisi ‘zalim’, menurut Al-Qur’an, adalah tidak mau bertaubat.”Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 49:11) Jika panggilan-Nya ini kita abaikan, maka kita akan semakin berputar-putar saja di dunia ini, dan kalbu kita akan semakin buta saja. Oleh karena itu, akan semakin susah sajalah kita memperoleh petunjuk-Nya, ketika kalbu kita menjadi buta.”Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”(QS 20:124)”Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah kalbu (quluubun) yang ada di dalam dada.”(QS 22:46)
Apakah ‘Taubat’ ? Apakah ‘taubat’ itu? Taubat bukanlah istighfar. Hanya semata mengucapkan ‘astaghfirullah’, walaupun seribu kali, bukanlah taubat. Sebagaimana qur’an mengatakan, “Karena itu beristighfarlah kepada-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya” (QS. 11:61). Maka, dari ayat di atas, jelas nampak bahwa Istighfar dan taubat adalah dua hal yang berbeda.Kata ‘taubat’ berasal dari kata ‘taaba’, artinya ‘kembali’. Taubat adalah sebuah ‘keinginan’, kegandrungan, kebutuhan akan Allah, maupun segala yang dapat membuat kita lebih mengenal-Nya. Oleh karena itu, landasan taubat adalah mencari Allah, mencari kesejatian, mencari hakikat kehidupan ini. Orang bisa saja mengucap istighfar ribuan kali sehari, tapi sama sekali tidak bertaubat.
Orang bisa zikir ribuan kali, dengan niat supaya cerdas, supaya sakti, supaya bisa mengobati, supaya karir bagus, supaya lulus ujian, macam-macam. Rajin shalat malam, supaya berwajah cerah dan cantik. Rajin puasa, supaya sehat, supaya tidak gemuk. Di mana Allahnya? Mungkin Allah kita tempatkan nomor dua atau tiga. Maka dari itu, pertama sekali, kita murnikan niat kita dahulu. Kita niatkan semuanya hanya untuk kembali kepada-Nya (taubat), supaya semakin diberi-Nya petunjuk bagaimana taubat yang benar itu. Supaya diajari-Nya hakikat kehidupan ini.
Tidak bertaubat Jika kita tidak kembali kepada Allah (taubat), maka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zalim. Definisi ‘zalim’, menurut Al-Qur’an, adalah tidak mau bertaubat.”Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 49:11) Padahal, Allah tidak akan pernah memberikan petunjuk-Nya kepada orang-orang yang zalim. Ketegasan-Nya ini diulang berkali-kali dalam Al-Qur’an, sebagai peringatan supaya kita benar-benar memperhatikan hal ini. “Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (2:258)”
“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (5:151)
Demikian pula kalimat yang sama bisa kita temukan pada Q.S. 6:144, 9:19, 9:109, dan 28:50.Maka dari itu, jika kita tidak bertaubat, tidak berusaha kembali kepadaNya, maka kita akan semakin sesat saja. Bahkan hal ini ditegaskanNya bahwa ia akan menyesatkan mereka yang zalim.”Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim (14:27).” Jika kita tidak bertaubat, kembali pada Allah, maka sudah barang tentu akan semakin jauh saja kita dari petunjuk-Nya. Hidup kita pun dengan sendirinya akan terlempar-lempar dari satu masalah ke masalah yang lainnya saja, jauh dari petunjuk-Nya.
Ke’MahaPengampun’an Allah Kita mengetahui bahwa Allah Maha Pengampun. Tapi, Maha Pengampun terhadap siapa?”Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS. 20:82).
Allah Maha Pengampun pada yang bertaubat (saja). Jika kita bertaubat, kembali kepada-Nya, maka barulah asma ‘Maha Pengampun’ ada implikasinya terhadap kita. Jika kita misalnya dikenal sebagai orang yang pemaaf, tentu sifat pemaaf kita tidak ada implikasinya terhadap orang yang tidak kita kenal. Jadi, kepemaafan kita berlaku pada orang tertentu saja, tidak dengan sendirinya pada semua orang. Demikian pula Allah. Dia Maha Pengampun (hanya) kepada mereka yang bertaubat. Kepada yang tidak bertaubat, walaupun dia dikenal dengan Maha Pengampun, tentunya tidak ada hubungannya. Ke-Maha Pengampunan-Nya tidak ada implikasinya sama sekali kepada mereka yang tidak bertaubat, kepada mereka yang tidak berusaha kembali kepada-Nya.
Jika kita hanya istighfar saja, maka belum tentu Allah Maha Pengampun kepada kita. Tapi jika kita bertaubat, kemudian memperbaiki diri, maka Allah Maha Pengampun kepada kita. Taubat –harus– diikuti dengan memperbaiki diri, supaya taubat kita diterima oleh-Nya. Demikianlah yang kita lihat pada ayat-ayat berikut ini:
“Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 5:39)
“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24:5)
“Barangsiapa yang berbuat kejahatan diantara kamu karena kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 6:54)

Memahami Takdir

December 15, 2010

Kembali Ke Allah | -

Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen
Diterjemahkan oleh Herry Mardian.
http://suluk.blogsome.com/2006/01/09/memahami-takdir-bawa-muhaiyaddeen/
ANAK-ANAKKU tersayang, sebenarnya apa yang kita lakukan, apa yang kita perbuat, itulah yang membuahkan takdir kita (Al-Qada’ wal Qadar). Pena-nya ada di tangan kita sendiri, dan kita sendiri yang menulis bukti-bukti yang akan menjadi bahan pertimbangan pada hari pengadilan nanti. Keputusan terakhir akan dibuat berdasarkan tulisan kita ini. Allah akan membacanya dan berkata, “Inilah takdirmu (nasib). Kami akan membuatnya sebagai takdir bagimu.”
Pada keadaan-kedaan tertentu, ketika kita merasa begitu berat menyingkirkan hal tertentu, dan ketika kita merasa itu diluar kemampuan kita, kita akan berkata, “Inilah takdirku.” Jika ada seseorang yang sakit, kita akan mencoba segala macam jenis pengobatan padanya, dan ketika itu tidak berhasil kita akan mengatakan, “Pasti ini sudah takdirnya.”
Sebenarnya Tuhan pun seperti itu ketika memberikan putusan terakhirnya, ketika Dia mengatakan “Itulah nasibnya.”. Dia telah memberikan segalanya pada kita. Dia sudah menurunkan pada kita ke sembilan-puluh-sembilan sifat-Nya, dan hanya satu saja yang dia simpan untuk diri-Nya. Dia mengatakan, “Telah Aku berikan segala-galanya pada manusia, tapi manusia tidak memahami dan malah datang pada-Ku dengan membawa beban-beban neraka. Maka itulah yang akan aku jadikan sebagai nasibnya.” Maka Dia akan berkata lagi, “Kembalilah dengan semua yang kau bawa pada-Ku. Itu akan menjadi milikmu.”
Kita sendirilah yang menciptakan neraka atau surga untuk kita. Apapun dari diri kita yang kita tumbuhkan akan menjadi milik kita, dan hasil berupa keuntungan ataupun bencana, kita sendirilah yang mengusahakannya. Apakah kita harus mengambil neraka bagian demi bagian, kemudian mencoba untuk menghancurkannya? Tidak. Dorong itu semua dari jalan kalian, dan teruslah berjalan. Tidak perlu kita mencoba untuk menghancurkannya, majulah terus saja. Jika ada seekor anjing yang datang mencoba menggigit kita, kita menghindar dan berjalanlah terus. Buat apa kita berhenti dan menggigit balik anjing itu?
Sama seperti itu, jika ada setan mengikuti kita, katakan padanya untuk pergi, dan tetaplah berjalan. Jangan membuang-buang waktu dengannya. Dia hanya akan berteriak-teriak sebentar, tapi kemudian akan pergi. Dosa pun akan mengikuti kita sebentar, tapi jika kita tidak melihat kebelakang, maka ia pun akan pergi. Mereka akan berkata, “Ini bukan tempat kita,” lalu pergi. Akan ada banyak hal yang mengikuti kita selama waktu tertentu. Jika kita melihat kebelakang dan tersenyum lebar-lebar lalu menjadi senang karena kedatangan mereka, maka mereka akan terus mengganggu kita. Tapi jika kita tidak menghiraukan mereka, mereka akan pergi sambil berkata, “Gagal. Manusia ini mengalahkanku. Aku tidak dapat memasukinya.”
Seperti pelacur yang menari-nari untuk menangkap pandangan mata pria, seperti itu pula cara mereka mencuri perhatian kita. Mereka berdandan, menari, dan menangkap perhatian kita. Tapi jika kita langsung berpaling, jika kita punya iman, keyakinan dan tekad pada Allah yang Satu dan terus berjalan, mereka tidak akan mendekati kita. Mereka akan menjaga jarak. Tetap, mereka akan mengikuti kita sebentar, tapi nanti mereka akan pergi meninggalkan kita.
Mereka hanya tertarik pada pikiran dan sifat-sifat tertentu yang buruk pada diri kita. Jika pada suatu saat mereka mencoba untuk mengikatkan diri pada sifat-sifat buruk kita, maka buanglah sifat buruk itu dan teruslah berjalan, maka mereka tidak akan mampu mempengaruhi kita. Mereka akan menjanjikan segalanya: emas, perak, wanita, istana, dan sebagainya. Mereka akan menggoda, “Lihatlah ini! Lihatlah itu!” Tapi jika kalian mengacuhkannya, mereka akan berkata, “Tidak ada yang bisa kita lakukan pada manusia macam ini.”
Jika kalian justru menyambut mereka, tersenyum dan memeluknya, dan merasa senang karenanya, maka mereka akan terus mengikatkan dirinya pada kita. Tapi jika kita halau mereka, mereka akan pergi. Jika ada anjing yang akan menggigit kita, teruslah berjalan. Kita tidak perlu berhenti untuk mencoba menggigitnya balik, karena dia justru akan benar-benar menggigit kita. Jika kita mencoba menakutinya, ia akan menggigit kita. Jika kita mengambil tongkat atau batu, ia tetap akan menggigit kita juga. Oleh karena itu, kita harus berdiri diam dan katakan padanya, “Hai anjing, untuk apa kau terus mengikutiku? Aku tidak pernah menyakitimu. Pergilah, dan lakukan apa yang sudah menjadi tugasmu!” Maka anjing akan pergi dan kita bisa terus berjalan.
Kita harus melakukan hal yang sama setiap kali ada sesuatu yang menangkap kita. Katakanlah, “Tidak, aku tidak akan tertarik. Tidak ada gunanya kau mengikutiku,” dan berjalanlah terus. Tidak perlu merasa takut. Jika kita tatap mereka tanpa rasa takut dan mengatakan, “Pergilah,” maka mereka pun akan pergi.
Anak-anakku, kita sendirilah yang menyiapkan surga atau neraka untuk kita kelak. Takdir kita ditulis oleh tangan kita sendiri, dan kelak kita yang akan memberikannya pada Tuhan, dan barulah setelah itu Dia akan menilainya dan memberikan putusan akhir. Dia berikan pada kita sembilan puluh sembilan sifatnya, dan berkata “Ini menjadi takdirmu. Pergilah dan laksanakan apa yang harus kau kerjakan dengan kesembilan puluh sembilan sifat ini, kemudian kembalilah. Jika dengan ini kau mengumpulkan kebaikan, maka engkau mengusahakan surga. Tapi jika kejahatan yang kau kumpulkan, maka kau mengusahakan neraka. Apapun yang engkau bawa kembali kelak, itu akan menjadi dasar putusan terakhirmu. Aku sendiri yang akan menjadikan keputusan itu sebagai penyempurna takdirmu. Aku serahkan keputusan akhir itu pada tanganmu (Al qada’ wal qadar). Pergilah, selesaikan takdirmu, dan kembalilah. Hasil akhir yang kau peroleh akan menjadi qadha dan qadarmu.”
Jika kita tidak menyadari ini, dan malah menyiapkan neraka bagi kita sendiri, maka Dia pun tidak akan menyiapkan surga. Dia tidak pernah mengatakan, “Apapun yang pernah Aku berikan padamu merupakan takdirmu!” Dia akan senantiasa merubah takdir kalian berdasarkan niat dan perbuatan kalian. Setiap saat kalian minta dimaafkan, Dia akan memaafkan saat itu juga. Setiap saat kalian menyesal dan pemahaman diri kalian bertambah, Dia akan memaafkan kalian. Seiring dengan kebutuhan kalian pada-Nya yang meningkat setahap demi setahap, Dia akan terus menghadiahkan pada kalian hal-hal seperti ini. Jika Dia telah menetapkan takdir bagi kalian terlebih dahulu, tentu Dia tidak akan terus-menerus memberikan maaf seperti ini. Dia telah memberikan kalian kemampuan untuk ber-taubat, dan Dia telah memberikan kalian ampunan-Nya. Karena Dia telah memberikan pada kalian keduanya, kesalahan sekaligus obatnya, maka tentu Dia akan mengampuni setiap kali kalian memintanya.
Lebih jauh lagi, jika takdir kalian telah ditentukan terlebih dahulu, maka kalian tidak akan diperintahkan untuk meminta. Kemampuan meminta dan memohon telah dipersiapkan-Nya khusus untuk kalian, maka tidak ada yang namanya ‘telah ditakdirkan terlebih dahulu.” Khusus bagi manusia, Tuhan telah menyiapkan kemampuan bertaubat, berusaha, dan pengampunan-Nya. Melalui ini semualah kalian bisa meraih kemenangan. Tidak boleh kalian mengatakan, “Semua telah ditulis, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan.” Kalian harus berusaha. Dia telah berikan pada kalian sembilan puluh sembilan sifat-Nya.
Mintalah, maka Dia akan memaafkan. Berharaplah dan Dia akan berikan. Minta dan berharaplah, Dia akan memaafkan dan memberikan. Jika kalian mengetuk, pasti Dia akan buka. Minta, maka akan diberikan. Dia pasti memberikan. Allah mengatakan, “Aku akan mengampuni. Mintalah ampunan, mintalah, dan akan Aku berikan yang kalian minta.” Jika Dia telah menuliskan takdir kalian sebelumnya, maka Dia tidak akan memberikan itu.
Tuhan akan menunggu, menunggu sampai kalian diletakkan dalam kubur. Dia menunggu hingga tibanya Hari Perhitungan, dan pada hari itu hanya Dia yang berhak mengajukan pertanyaan. Dan kalian sendirilah yang datang pada-Nya membawa kebaikan atau kejahatan. Seandainya Dia telah menuliskan semua hasilnya, maka tentu tidak ada gunanya kalian diperintahkan untuk mengumpulkan perbuatan baik. Untuk apa lagi Dia ada di sana, harus memberikan penghakiman? Dia ada di sana karena ada yang harus Dia pertimbangkan, Dia menunggu untuk melihat apa yang kalian bawa. Jika seandainya dia sudah menentukan neraka terlebih dahulu untuk kalian, mengapa Dia memerintahkan kedua malaikat di kanan dan kiri kalian untuk terus mencatat perbuatan kalian? Pahamilah, bahwa selama ada hal yang masih belum ditulis, berarti masih ada tempat untuk memperbaiki dan meminta ampun.
Allah menurunkan 124.000 Rasul. Jika semua telah ditetapkan-Nya sejak awal, untuk apa Dia mengirimkan 124.000 rasul? Mengapa mereka semua dikirim? Untuk siapa? Apa Tujuannya? Jika semua telah ditentukan hanya berdasarkan keinginan-Nya, dan semua harus terjadi sebagaimana yang dikehendaki, maka tidak ada gunanya semua Rasul itu diturunkan. Tidak ada alasan untuk merubah apapun.
Allah telah menciptakan pasangan ‘khairr dan sharr‘, baik dan buruk. Dia juga telah ciptakan ‘Al-Qada’ wal Qadar’. Tapi Dia menciptakan semua itu secara sedemikian rupa sehingga apapun yang terjadi merupakan hasil perbuatan manusia sendiri. Dia berikan pada manusia kemampuan untuk merubah apa-apa yang tidak baik. Apapun takdir yang akan manusia dapatkan, merupakan hasil dari niatnya, perkataannya, dan perbuatannya sendiri. Itulah yang telah Allah katakan. Itulah kata-kata Tuhan.
Al-Qur’an memang menyebutkan tentang takdir, tapi jika hanya mengutip kata-kata Qur’an sebenarnya tidaklah cukup. Ada orang yang mampu menghafal ke 6.666 ayat, tapi hanya menghafalkan tidak akan memberikan kebaikan apa-apa. Setiap huruf dalam Qur’an memiliki rahasia didalamnya. Kebenaran Tuhan ada di setiap hurufnya, sebagai sebuah rahasia di dalam rahasia, dan kita harus membuka setiap rahasia satu demi satu, maka barulah kita akan mengerti. Tapi merupakan hal yang mustahil untuk memahami isi Qur’an seluruhnya. Sampai kapan pun, bagaimanapun perubahan yang terjadi di dunia ini, Qur’an akan senantiasa ada, demikian pula rahasia-rahasia yang ada di dalamnya. Dan di dalam rahasia itu, masih ada rahasia lagi.
Qur’an mengandung hukum-hukum dan kata-kata Tuhan. Musim mungkin berubah, dunia mungkin berubah, tapi Tuhan dan kata-kata-Nya tidak akan berubah-ubah. Bergantung pada keadaan dunia pada saat itu, kata-kata dalam Qur’an akan terus menyesuaikan dirinya untuk saat tersebut. Maka, setiap kali seseorang membuka Qur’an, tidak peduli pada masa apapun ia sedang berada, dia akan bisa mendapatkan jawaban yang dia perlukan. Akan dia temukan penjelasan rahasia yang dia butuhkan. Tergantung pada tingkatan di mana dia berada ketika seseorang membuka Qur’an, dia akan menemukan Qadha wal Qadar yang paling sesuai bagi kondisinya, demikian pula semua takdir dan nasibnya.

No comments:

Post a Comment