the best arabic songs

Wednesday 18 May 2011

BERTAWASSUL DENGAN PARA NABI DAN ORANG-ORANG SHALIH (Oleh : Dr. Abdul Karim Al ‘Aqel)

Segala puji bagi Allah subhanahu wata’ala.
Shalawat dan salam somoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam yang tidak ada nabi setelahnya.
Sebagai dampak langsung dari jauhnya kebanyakan kaum muslimin dari Tuhan serta jahilnya mereka akan agama, tersebarlah berbagai bentuk kemusyrikan, bid’ah dan khufarat di kalangan umat. Di antara bentuk kemusyrikan yang tersebar luas, ialah sikap yang berlebihan sebagian kaum muslimin dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap wali dan shaleh, sehingga mereka menyeru (berdo’a kepada) mereka di samping (menyeru) Allah subhanahu wata’ala. Mereka berkeyakinan, bahkan sesungguhnya wali-wali dan orang-orang shaleh itu dapat memberi manfa’at dan menimbulkan mudharat, sehingga mereka mengagungkan dan melakukan thawaf (berkeliling) di kuburan-kuburan mereka, dengan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah merupakan tawassul (mengambil perantara) kepada Allah subhanahu wata’ala untuk menunaikan bermacam hajat, atau untuk menolak berbagai malapetaka.
Seandainya orang-orang awam ini mau kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah dan memahami kandungan keduanya tentang masalah do’a dan tawassul yang dibenarkan dalam syari’at Islam.
Sesungguhnya tawassul yang benar dan disyari’atkan ialah dengan jalan patuh kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, dengan melakukan segala perintah, menjauhi larangan, mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah subhanahu wata’ala dengan amal-amal shaleh dan meminta kepada Allah dengan (menyebut) Al Asma Alhusna (nama-nama Allah yang baik) dan sifat-sifat-Nya yang agung.
Inilah cara (yang benar dalam) mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala dan jalan menuju rahmat dan keridhaan-Nya. Sedangkan tawassul (mencari jalan mendekatkan diri) dengan cara datang (mengadu) ke kuburan-kuburan, berthawaf di sekelilingnya, bernadzar kepada penghuninya dan menatap di pintu-pintunya dengan tujuan, agar kebutuhan terpenuhi dan terlepas dari kesempitan hidup dan mara bahaya, bukanlah tawassul yang dibenarkan oleh syari’at, bahkan hal itu merupakan kemusyrikan dan kekafiran, kita mohon perlindungan kepada Allah subhanahu wata’ala dari perbuatan seperti ini.
Adapun riwayat yang mengatakan Umar bin Khattab pernah bertawassul kepada Abbas radhiyallahu ‘anhu, yang dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk membenarkan tawassul kepada seseorang, sebenarnya Umar hanya bertawassul dengan perantaraan do’a Abbas bukan pribadinya. Sebab tawassul dengan perantara do’a seseorang tidak sama dengan tawassul pribadinya, dengan syarat orang tersebut masih hidup. Karena bertawassul dengan seseorang adalah dibolehkan syari’at dengan syarat orang yang do’anya dijadikan perantaranya itu adalah orang yang shaleh.
Kemudian, kalau orang yang sudah meninggal dunia yang didatangi seseorang untuk meminta kepada Allah subhanahu wata’ala dengan (perantara) berkahnya dan yang diminta bantuannya, setelah mati, sama sekali tidak mampu melakukan sesuatu atau memberi manfa’at kepada dirinya, bagaimana dia mampu memberi manfa’at kepada orang lain?!
Seseorang yang berakal sehat tidak mungkin menerima, bahwa orang yang sudah meninggal dan tidak dapat bergerak serta kehilangan fungsi anggota tubuhnya dapat mendatangkan manfa’at bagi dirinya, apalagi bagi orang lain.
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam telah menafikan kemampuan seseorang setelah mati untuk berbuat sesuatu, Beliau shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Apabila seorang anak Adam (manusia) meninggal, terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at dan anak shaleh yang mendo’akannya”.
Dari hadits di atas jelaslah, bahwa justru orang yang sudah meninggal yang membutuhkan do’a dan permohonan ampun dari orang yang masih hidup, bukan sebaliknya.
Kalau hadits ini sudah menetapkan, bahwa  amalan manusia telah terputus setelah mati, bagaimana kita percaya bahwa orang yang sudah meninggal hidup lagi sehingga ia dapat berhubungan dengan orang lain dan dapat memberikan berbagai macam Bantuan?! Bagaimana kita dapat mempercayainya, karena orang yang tidak memiliki sesuatu tak mungkin dapat memberinya. Dan orang yang sudah meniggal tidak mungkin mendengar orang yang menyerunya, bagaimanapun panjang do’anya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang kamu seru (sembah)selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu dan kalau mereka mendengar, mereka tiada dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu”. QS. Faathir: 13-14.
Dalam ayat di atas Allah subhanahu wata’ala menafikan kepemilikan dan kemampuan mereka untuk mendengar do’a (orang yang menyeru mereka). Sama-sama kita ketahui, bahwa orang yang tidak memiliki (sesuatu) tidak mungkin dapat memberikannya, dan orang yang tidak dapat mendengar tentu saja tidak dapat mengabulkan (permintaan) dan mengetahuinya.
Ayat di atas juga menjelaskan, semua yang diseru selain Allah subhanahu wata’ala, sesiapapun orangnya, tidak mampu mengabulkan sesuatupun dari (permintaan) orang yang menyerunya. Oleh sebab itu, setiap (ibadah yang diberikan kepada) sembahan selain Allah subhanahu wata’ala, maka ibadah tersebut adalah bathil. Allah Ta’ala barfirman:
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim. Jika Allah menimpa sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang mampu menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan kepada kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya”. QS. Yunus: 106-107.
Dengan ayat di atas, jelaslah bahwa sesungguhnya semua yang diseru selain Allah subhanahu wata’ala, tidak dapat memberikan manfa’at dan tidak pula mudharat. Kalau begitu, apa gunanya menyembah dan berdo’a kepada mereka. Hakikat ini juga mengandung bantahan terhadap ahli khurafat, yang suka mengklaim bahwa setelah berziarah ke makam atau setelah berdo’a (meminta) kepada (wali) fulan, hajat kami terkabul. Barangsiapa yang berkata demikian, sesungguhnya ia telah berbohong kepada Allah subhanahu wata’ala. Kalaupun mereka mendapatkan apa yang mereka katakan, maka tercapainya hal itu disebabkan oleh satu dari dua hal berikut:
Pertama : Jika apa yang mereka minta itu sesuatu yang biasanya dapat dilakukan oleh makhluk, maka terkabulnya permintaan itu disebabkan oleh syaitan, karena mereka selalu ada di pekuburan. Sesungguhnya tidak ada satupun kuburan atau berhala yang disembah selain Allah subhanahu wata’ala, kecuali ada syaitan yang menunggunya, dengan tujuan mempermainkan akal manusia.
Dan orang-orang yang bertawassul (berdo’a dengan perantara) wali-wali, karena (kedudukan/ pekerjaan) mereka serupa dengan para penyembah berhala, maka syaitan-syaitan dapat dengan mudah menyesatkan dan menjerumuskan mereka seperti sesatnya para penyembah berhala pada zaman dahulu. Syaitan itu akan menjelma dalam wujud (wali) yang  dimintai bantuannya itu, kemudian berbicara langsung dengan mereka, sebagaimana syaitan itu berbicara kepada para dukun. Mungkin saja apa yang mereka bicarakan mengandung unsur kebenaran, namun kebanyakan adalah kebohongan belaka. Kadang-kadang syaitan itu mengabulkan sebagian keinginan mereka dan menolak sebagian bahaya yang tidak mereka kehendaki, yang biasanya memang dapat dilakukan oleh kebanyakan manusia. Namun orang-orang bodoh (awam) itu menyangka bahwa sang walilah yang keluar langsung dari kuburnya dan melakukan semua permintaan mereka itu. Mereka tidak sadar, sebenarnya syaitanlah yang menjelma untuk menyesatkan pelaku syirik yang meminta bantuan (istighasah) kepada wali tersebut.
Syaitan juga dapat masuk ke dalam berhala-berhala, sehingga dapat berbicara kepada orang-orang yang menyembahnya dan mengabulkan sebagian apa yang mereka inginkan, sebagaimana yang dinyatakan oleh banyak ulama.
Kedua : Adapun apabila perkara yang diminta itu berupa sesuatu yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh Allah subhanahu wata’ala, seperti kehidupan, kesehatan, kecukupan, kemiskinan dan lain-lain yang merupakan hak mutlak (prerogatif) Allah subhanahu wata’ala, maka hal ini tercapai berdasarkan qadar (ketentuan) yang telah dituliskan Allah subhanahu wata’ala lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi, di mana waktu realisasi (pelaksanaan)nya bertepatan dengan waktu permintaan tersebut. Itu terjadi bukan karena berkatnya do’a penghuni kubur seperti yang mereka sangka. Oleh karena itu, seorang manusia yang berakal, seyogianya tidak boleh begitu saja percaya kepada khurafat (cerita yang dikarang-karang) seperti ini. Sebaliknya ia mesti menggantungkan (harapan) hatinya kepada Allah subhanahu wata’ala dan memohonkan keinginan kepada-Nya sampai terkabul. Ia tidak boleh terpengaruh dan berpaling kepada makhluk, karena semua makhluk itu serba kekurangan, diliputi kebodohan dan kelemahan. Nah, bagaimana mungkin seorang manusia meminta hajatnya kepada makhluknya yang sama (lemah dan butuh) dengannya?! Dan kadang-kadang makhluk yang diminta bantuannya itu adalah orang yang sudah mati, yang tidak dapat mendengar, tidak melihat dan memiliki sesuatu. Bahkan ia lebih lemah dari sekedar mengangkat sebesar biji sawi tanah yang menguburkan dirinya. Bukankah ini benar-benar kesesatan, kajahilan dan penyimpangan yang nyata dari jalan kebenaran?! Akan tetapi, syaitan selalu menghiasi amalan manusia (sehingga yang buruk terlihat baik).
Dan cukuplah sebagai bukti hina dan tercela perbuatan seperti ini, bahwa pelakunya membutuhkan makhluk dengan berpaling daripada Khalik(Allah) Jalla wa ‘Allaa. Demi Allah subhanahu wata’ala, inilah hakekat butanya penglihatan dan matinya hati.
Sumber : Buku Benteng Tauhid. Karya Syekh Abdul Rahman As Sa’dy, Syekh Abdul Azis bin Baaz, Syekh Muhammad Shaleh Al Utsaimin, Syekh Abdullah bin Abdul Rahman Al Jabrin

No comments:

Post a Comment